Hasan kaget bukan
kepalang, tatkala kambing-kambing yang digembalakannya hilang seekor. Ia mencari ke sana kemari, tetapi tak ketemu juga. Saat hampir
putus asa, dari kejauhan tiba-tiba terlihat kambingnya tengah
dituntun orang. Hasan
bergegas memburu orang
itu. Ketika
sudah dekat, orang yang menuntun
kambingnya itu ternyata Balsom, tetangganya sendiri.
“Balsom, hendak kau bawa ke mana kambingku itu, hah?” tanya Hasan,
berang. Yang ditanya
ternyata menjawab dengan
santai.
“Saya kira kambing
ini tak bertuan.
Dia berkeliaran sendirian. Daripada dimakan macan, lebih baik kuamankan
saja di rumahku.”
Mendapat jawaban seperti
itu, Hasan sebenarnya sakit hati juga. Namun,
Hasan tak ingin terjadi
keributan. Dia mencoba mengalah dan menerima balasan Balsom. Cuma dia meminta
agar Balsom tak mengulanginya lagi. Namun, janji tinggal janji. Beberapa waktu setelah kejadian itu, Balsom kembali
mengulang perbuatannya lagi. Dia mencoba
mencuri kambing Hasan lagi.
Ketika tepergok,
Balsom bisa saja berkilah.
“Aku tidak tahu kalau itu kambingmu.
Dia berkeliaran sendirian. Daripada dimakan macan, lebih baik kuamankan saja di rumahku. Makanya kambing-kambingmu itu diberi tanda
yang jelas, biar semua orang
tahu.”
Kali ini Hasan tidak bisa menahan kemarahannya lagi. Dia menghujat Balsom habis-habisan.
“Kau memang pandai berkilah! Kau tidak bisa ditegur dengan cara yang baik-baik. Kalau itu memang maumu, baiklah.
Aku juga bisa melakukan hal yang sama padamu.”
Mendapat ancaman seperti itu, Balsom tidak gentar. Dia menanggapinya dengan tenang. Balsom tahu, Hasan tidak cukup pintar untuk bias melaksanakan ancamannya itu. Namun usai kejadian itu, Hasan punya rencana lain. Dia menemui Abunawas di rumahnya. Ia meminta nasihat agar bisa membuat Balsom jera.
“Kalau masalahnya seperti itu, gampang,” ucap Abunawas, usai mendengar cerita Hasan.
“Gampang bagaimana maksudmu?” tanya Hasan, tak mengerti.
“Sudah, lusa ikut aku. Dia akan merasakan balasan yang setimpal. Aku tahu kebiasaannya. Setiap
Rabu siang, dia pasti pergi
ke pasar kota.
Setelah itulah kita akan buat dia menangis sejadi-jadinya.”
Hasan belum sepenuhnya
mengerti maksud Abunawas,
tetapi karena meyakini kecerdikan Abunawas,
dia menyetujui saja rencana itu.
Rabu siang, Abunawas
dan Hasan menunggu di sebuah jalan. Keduanya bersembunyi di balik rerimbunan pohon. Mereka berharap, Balsom akan melewati jalan itu.
Benar juga! Tak berapa lama kemudian, Balsom melewati jalan itu sembari
menuntun anak
lelakinya yang berumur tiga tahun. Melihat sebuah sandal tergeletak tak bertuan, Balsom berhenti sejenak.
“Bukankah ini pasangan sandal yang kutemui di jalan, beberapa saat yang lalu? Kalau tahu aku bakal menemukan
pasangannya, mengapa aku tidak mengamankan sandal tadi?” gumam Balsom, sembari geleng-geleng kepala.
Setelah berpikir sejenak, Balsom membulatkan pikiran. Dia akan kembali untuk mengambil sandal yang tergeletak di tengah jalan,
beberapa saat yang lalu.
“Kau tunggu di sini, ya?” kata Balsom pada anaknya.
“Ayah pasti akan kembali lagi. Tidak
lama, kok, paling hanya
sepuluh menit saja.”
Beberapa saat setelah
Balsom meninggalkan anaknya,
Abunawas dan Hasan langsung bereaksi.
Dia mendekati anak Balsom dan membujuknya agar mau ikut dengannya. Diiming-iming mainan dan gula-gula, anak Balsom menurut saja diajak Abunawas
dan Hasan.
Tatkala Balsom sudah
kembali ke tempat
semula, betapa kagetnya
dia. Anaknya raib tak berimba. Dia tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Jalanan ini sepi, nyaris
tak berpenghuni. Yang ada hanya
rerimbunan pohon dan semak-semak. Sembari hilir mudik ke sana kemari, Balsom meraung-raung sejadi-jadinya, menangisi kepergian anaknya.
Di tengah kepanikannya, tiba-tiba dia melihat
sekilas anaknya dituntun orang. Balsom segera berlari mengejar
bayangan itu. Setelah
dekat, ternyata benar. Anaknya
tengah dituntun Abunawas
dan Hasan.
“Hai, apa-apaan ini! Mau kau bawa ke mana anakku, hah?!” seru Balsom
memaki Abunawas
dan Hasan.
“Lho, ini anakmu?”
ucap Abunawas pura-pura
tidak tahu. “Saya kira bocah ini tidak bertuan. Dia berkeliaran sendirian
tadi. Daripada dimakan macan, lebih baik kuamankan saja di rumahku.”
Mendapat jawaban setelak itu, Balsom seketika terdiam. Amarahnya yang meluap-luap seketika sirna. Kilahnya kepada Hasan beberapa waktu yang lalu, kini dibalikkan lagi kepadanya, oleh Abunawas. Wajah
Balsom merah padam menahan malu. Akhirnya,
tanpa banyak bicara, Balsom segera merenggut tubuh anaknya dari tangan Abunawas dan pergi tanpa sepatah kata.